Jumat, 04 Desember 2015

Kemajemukan di Indonesia dari Segi Pendekatan Konflik



KEMAJEMUKAN DI INDONESIA DARI PENDEKATAN KONFLIK – PAPUA BARAT

Papua Barat adalah bagian barat dari pulau New Guinea. Berbatasan langsung dengan Negara merdeka Papua Nugini dan menjadi bagian dari Indonesia setelah melalui sebuah proses yang didiskreditkan, dikenal sebagai ‘Act of Free Choice’ (Tindakan Pilihan Bebas) pada tahun 1969.

Jumlah penduduk di Papua Barat adalah 3,6 juta, terdiri dari 48.7% orang pribumi dan 51.3% non-Papua. Penduduk ini meliputi lebih dari 250 kelompok etnis dan bahasa. Para pendatang dari daerah lain di Indonesia menaikkan proporsi jumlah penduduk yang cukup besar dan kemudian mendominasi ekonomi lokal. Mereka telah menjadi mayoritas di pusat-pusat perkotaan dan segera akan melampaui jumlah penduduk asli Papua secara keseluruhan. Mata pencaharian dan budaya di Papua berada di bawah ancaman berat proses marginalisasi ini.
Rakyat Papua adalah orang-orang Melanesia dan mayoritas beragama Kristen/Katolik, hal yang membedakan mereka dengan umumnya orang-orang Melayu dan muslim di Indonesia. Wilayah itu sebelumnya dikenal sebagai West New Guinea, Irian Barat dan kemudian menjadi Irian Jaya. Saat ini, wilayah tersebut telah menjadi provinsi Indonesia yaitu provinsi Papua dan Papua Barat. Namun kedua provinsi ini bersama-sama lebih dikenal sebagai Papua Barat karena adanya kesamaan identitas dan budaya bersama.
Seperti halnya Indonesia yang sekarang, Papua Barat dulunya merupakan bagian dari Hindia Belanda, namun Papua Barat terus berada di bawah kekuasaan Belanda setelah Indonesia merdeka pada tahun 1949. Pada awal tahun 1960-an, Papua Barat dipersiapkan untuk menuju kemerdekaannya oleh Belanda di tengah-tengah adanya oposisi yang kuat dan serangan militer dari pihak Indonesia.

Beralih ke pemerintahan sendiri

Pada bulan Februari 1961, dilakukan pemilihan untuk West New Guinea Council, sebuah langkah penting menuju suatu pemerintahan sendiri. Anggota Dewan menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua Pertama pada tanggal 19 Oktober 1961, yang menyetujui sebuah Manifesto Kemerdekaan. Manifesto itu mengadopsi bendera Bintang Fajar atau bendera Bintang Kejora sebagai simbol nasional, dan menyetujui nama negara Papua Barat, menamakan rakyatnya sebagai rakyat Papua serta juga lagu kebangsaannya. Pada tanggal 1 Desember 1961, simbol-simbol kedaulatan Papua Barat tersebut diresmikan di hadapan para pejabat Belanda. Rakyat Papua sejak itu selalu merayakan 1 Desember sebagai hari kemerdekaan.

Namun, dalam konteks geopolitik Perang Dingin pada saat itu, Amerika Serikat sangat ingin mencegah Indonesia untuk tidak jatuh di bawah pengaruh komunis. Pada 15 Agustus 1961, Amerika membujuk Belanda untuk ikut ke dalam Perjanjian New York dengan Indonesia mengenai masa depan Papua Barat, yang dikenal dengan ‘New York Agreement’. Tidak ada satupun Orang Papua yang diajak berkonsultasi, namun perjanjian tersebut menetapkan bahwa semua orang Papua dewasa akan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri sesuai dengan praktek internasional.

Tindakan Pilihan Bebas

Belanda kemudian menyerahkan Papua Barat kepada otoritas sementara PBB yang tinggal selama hanya tujuh bulan sebelum menyerahkan kontrol kepada Indonesia di bulan Mei 1963. Selanjutnya, PBB gagal merespon kebijakan represif Indonesia maupun melindungi hak-hak rakyat Papua sebagaimana yang dijamin oleh Perjanjian New York. Pada tahun 1969, sebanyak 1.025 orang Papua dari total penduduk sekitar 800.000 dipilih secara serabutan kemudian diancam dan diintimidasi agar memilih atas nama negara mereka untuk menjadi bagian dari Indonesia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai Tindakan Pemilihan Bebas. Secara kontroversial PBB mendukung dan membiarkan hal ini terjadi tanpa keberatan.

Hak asasi manusia diserang terus menerus 

Setelah masyarakat internasional mengalihkan perhatiannya dari Papua Barat pada tahun 1969, sebuah tabir kerahasiaan meliputi wilayah tersebut dan sangat sedikit sekali berita yang muncul tentang pelanggaran luas hak asasi manusia – termasuk pembunuhan kilat, penyiksaan, penghilangan serta penangkapan sewenang-wenang – dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia. Ribuan orang diperkirakan tewas atau meninggal sebagai dampaknya selama masa pemerintahan Indonesia tersebut.

Meskipun Papua Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang paling kaya akan sumber daya alam dan menjadi tempat bagi pembayar pajak terbesar yaitu perusahaan tambang Freeport, Papua Barat merupakan salah satu daerah termiskin dalam hal tingkat kemiskinan dan indikator pembangunan manusia, dengan keprihatinan serius pada tidak memadainya pelayanan kesehatan, kematian ibu dan anak, HIV / Aids dan rendahnya tingkat pencapaian pendidikan.

Eksploitasi sumber daya

Eksploitasi sumber daya alam yang melimpah di Papua Barat serta pencaplokan lahan berskala besar secara sistematis untuk proyek-proyek agribisnis oleh Indonesia dan kepentingan bisnis internasional telah menjadi penyebab utama ketegangan dan konflik. Operasi ekstraktif telah melibatkan pengingkaran terhadap hak atas tanah dan degradasi lingkungan yang parah. Sebagian besar kawasan hutan menjadi sasaran untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dan produksi pangan dengan dampak besar terhadap perubahan iklim serta penduduk pribumi. Beberapa pelanggaran hak asasi manusia terburuk telah terjadi di sekitar perusahaan besar seperti di wilayah pertambangan emas dan tembaga, Freeport, dimana perusahaan mendanai pasukan keamanan sebagai upaya ‘proteksi’.

Hak untuk menentukan nasib sendiri ditegaskan kembali

Setelah kejatuhan diktator otokratis di Indonesia, Soeharto pada Mei 1998, masyarakat Papua mengalami masa yang relatif cukup terbuka di bawah masa pemerintahan singkat Bacharuddin Jusuf Habibie (1998-1999) dan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Presiden Wahid memperbolehkan diselenggarakannya Kongres Rakyat Papua Kedua pada bulan Mei / Juni 2000. Kongres memutuskan untuk menolak ‘Tindakan Pilihan Bebas’ atau Pepera dan mendorong hak untuk menentukan nasib sendiri secara damai melalui dialog dan negosiasi.

Akan tetapi, sementara Indonesia telah membuat kemajuan substansial dalam transisi menuju demokrasi, rakyat Papua sama sekali jauh dari situasi yang menguntungkan. Otonomi khusus yang diberikan pada tahun 2001 telah ditolak oleh Dewan Adat Papua Barat dan masyarakat Papua karena telah gagal untuk meningkatkan hak-hak dan kondisi hidup rakyat Papua. Upaya lebih lanjut saat ini sedang diteruskan oleh para pemimpin masyarakat adat Papua Barat dan para pimpinan agama untuk mendorong proses dialog dengan Pemerintah Indonesia. Namun, tidak semua orang Papua mendukung proses tersebut karena mereka kurang percaya kepada pemerintah Indonesia, beberapa lebih percaya bahwa pendekatan secara langsunglah yang dibutuhkan yaitu melalui referendum mengenai status masa depan politik wilayah tersebut.

Pada bulan Juli 2011, sebuah Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua menghasilkan kerangka untuk dialog dengan Pemerintah Indonesia serta agenda aspirasi untuk Papua damai dengan serangkaian ‘Indikator Papua Tanah Damai’ di bidang politik, hukum dan hak asasi manusia, ekonomi dan lingkungan, serta keamanan.

Pendekatan Militer/Keamanan yang berlaku

Meskipun ada tuntutan gigih untuk dialog politik, pendekatan keamanan terus menjadi cara dominan Pemerintah dalam menangani persoalan di Papua Barat. Operasi militer dan pendekatan tangan-besi dalam bidang keamanan menimbulkan ancaman serius terhadap hak asasi manusia dan kehidupan masyarakat Papua. Sebuah budaya kekerasan telah dikembangkan terkait dengan keyakinan aparat keamanan bahwa aktivitas politik serta advokasi untuk hak-hak orang Papua adalah selalu berhubungan dengan agenda separatis dan harus dihadapi dengan tindakan yang keras.

Praktek kekerasan dan represif dari pasukan militer dan polisi tersebut termasuk: intimidasi, taktik teror, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, interogasi yang dilakukan tanpa kehadiran pengacara dan ditolaknya akses untuk dikunjungi anggota keluarga, penyiksaan, penganiayaan dan pengabaian pemberian perawatan kesehatan selama dalam tahanan; penembakan misterius, penghilangan paksa, dan pembunuhan kilat. Para pembela HAM sangat rentan terhadap tindakan kekerasan.

Pada bulan Oktober 2011, tiga orang tewas dalam tindakan pembubaran dengan kekerasan terhadap Kongres Ketiga Rakyat Papua oleh pasukan keamanan di ibukota Jayapura. Kongres diselenggarakan oleh para pemimpin adat Papua bersama faksi-faksi politik untuk membahas hak-hak dasar mereka dan berakhir dengan pernyataan bahwa Papua Barat telah merdeka sejak tahun 1961. Lima pemimpin Papua dibawa ke pengadilan dan dinyatakan bersalah atas tindakan pengkhianatan terhadap Negara (makar).

Sementara para orang Papua sering dihukum berat untuk kegiatan politik damai, sebaliknya para petugas pasukan keamanan yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang keji selalu lolos dari hukuman atau diberi hukuman ringan yang tidak masuk akal. Pada bulan Januari 2011, tiga anggota tentara dijatuhi hukuman antara delapan dan sepuluh bulan penjara untuk pelanggaran prosedural ‘tidak mematuhi perintah’ karena keterlibatan mereka dalam penyiksaan brutal terhadap dua orang laki-laki Papua pada Mei 2010.

Kebebasan berekspresi diabaikan

Para aktivis Papua secara terus menerus ditangkap dan ditahan karena melakukan aksi damai seperti mengibarkan bendera Bintang Kejora atau menghadiri demonstrasi dan acara-acara publik yang berkaitan dengan nasionalisme Papua. Mereka sering dituduh melakukan tindakan pengkhianatan (makar) berdasarkan Pasal 106 dari KUHP, yang dulunya diterapkan ke dalam hukum Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda. Jika terbukti bersalah, mereka menghadapi hukuman penjara hingga dua puluh tahun atau bahkan seumur hidup. Banyak pengaduan telah dibuat tentang tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap tahanan politik serta kurangnya akses terhadap perawatan kesehatan yang memadai.

Pembatasan hak untuk kebebasan berekspresi dan kriminalisasi kegiatan politik damai dalam hal ini menjadi persolan mendasar penting di Papua Barat. Kebebasan berekspresi adalah sangat strategis dan penting untuk memperbaiki keadaan hak asasi manusia secara keseluruhan dan untuk memastikan bahwa para pembela HAM dapat melaksanakan pekerjaan vital mereka secara bebas dari berbagai intimidasi dan kekerasan. Hal ini juga diperlukan dalam rangka menciptakan kondisi di mana masalah-masalah politik di wilayah ini dapat diselesaikan.
Tertutupnya ruang demokrasi sebagai akibat dari pembatasan kebebasan berekspresi adalah sebuah langkah mundur dari kondisi yang dapat mendukung terjadinya dialog yang bermakna dan upaya penyelesaian konflik. Papua Behind Bars berusaha untuk mengatasi hal ini dengan mempromosikan debat serta perubahan bagi sebuah tindakan nyata dan kebijakan yang akan mengarah pada pembukaan ruang demokrasi di wilayah tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

http://www.papuansbehindbars.org/?page_id=652&lang=id



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar