Jumat, 18 Desember 2015

Kemajemukan di Indonesia dari Segi Pendekatan Konsensus



KEMAJEMUKAN DI INDONESIA DARI SEGI PENDEKATAN KONSENSUS – KEPULAUAN MALUKU

Kemajemukan adalah suatu pengertian dari pada heteroditas, keanekaragaman, kebinekaan maupun sifat yang menggambarkan pluralitas yang menempati suatu tempat atau daerah tertentu sehingga terciptanya suatu komunikasi masyarakat yang pada akhirnya menciptakan suatu peraturan,adat istiadat maupun kebudayaan yang beragam. Sehingga kemajemukan masyarakat tidak lain adalah pengertian dari suatu heterogenitas disuatu lingkungan bermasyarakat tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga sulit untuk disatukan dalam beberapa hal seperti politik maupun kepercayaan beragama. Indonesia adalah negara dengan keberagaam suku, agama, budaya, etnik serta keturunan yang tersebar di seluruh wilayah bangsa nan terhampar dari barat Sabang hingga timur Merauke.
           
Kemajemukan yang tejadi ditengan masyarakat Indonesia, tidak dapat dipungkiri.  Terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis terkadang membuat masyarakat itu sendiri sulit untuk kemudian bersatu dalam satu kesatuan sosial. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal aspek kehidupan. Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia antaranya yaitu: Faktor yang pertama adalah keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepualuan yang terdiri dari lima puluh pulau besar dan lebih dari 1300 kepulauan kecil yang tersebar membuat suatu penduduk masyarakat yang tinggal didalam suatu pulau dan membuat ataupun mendeklarasikan diri sebagai suatu suku akan merasa maupun memandang dirinya sebagai suku sendiri. Sehingga ketika berada atau berkomunikasi degan penduduk pulau lain, kemajemukan akan begitu terasa dalam berbagai aspek.
           
Faktor kemajemukan kedua yaitu letak Indonesia yang berada diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia,hal tersebut menjadikan bangsa Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal tersebut tentu mempengaruhi terciptanya pluralitas atau kemajemukan beragama. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan karena adanya pengenalan suatu kepercayaan yang dianut oleh pedagang dari seluruh mancanegara dengan berbagai kebudayaan yang dianut.
                       
Ketika suatu daerah memiliki kemajemukan yang luar biasa besar maka ada suatu tantangan tersendiri bagi setiap masyarakat maupun pemerintahan didalamnya untuk bagaimana kemudian menyikapi hal tersebut. Jika suatu keadaam majemuk maupun multikultur dapat berjalan serasi ditengah masyarakat, maka akan tercipta suatu intgrasi sosial yang baik. Hal tersebut adalah suatu kerjasama, timbal balik atapun suatu keselarasan dalam  bermasyarakat untuk mencapat tujuan dari pada proses kemajuan bangsa itu sendiri. Namun, jika suatu keselarasan tidak dapat tercipta maka patut dikhawatirkan disintegrasi sosial atau kerap disebut dengan konflik sosial akan tercipta dan kemudian berkembang dimasyarakat. Negara dengan tingkat kemajemukan yang cukup tinggi, memiliki lebih banyak potensi atau peluang untuk kemudian terciptanya konflik dari perbedaan sudut pandang maupun pakem-pakem yang berbeda disetiap daerah yang ada.
           
Konsensus adalah sebuah frasa untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antarkelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk mendapatkan konsensus pengambilan keputusan. Dengan adanya perbedaan sex maupun gender, keberagaman ras atau etnik,sosial politik dan ideologi membuat bangsa ini rentan dalam terjadinya konflik baik dalam sekala besar maupun sekala kecil.

Salah satu konflik yang akan diangkat dalam artikel kali ini adalah konflik di Kepulauan Maluku yang terjadi sejak tahun 1998 hingga 2002. Konflik ini bisa dibilang adalah suatu konflik yg rumit karena secara awam banyak yang menyangka bahwa konflik tersebut berlandaskan konflik agama. Namun kenyataannya tidak demikian.

Deskripsi Konflik. Fase awal erupsi konflik Maluku (Ambon) pecah 19 Januari 1999 setelah dipicu perkelahian supir bus beretnis Ambon beragama Kristen dengan penumpang beretnis Bugis beragama Islam. Konflik semakin intensif pada Juli 1999 dan ekstensif ke bagian-bagian provinsi Maluku lainnya hingga Januari 2000. Mulai saat itu, praktis Ambon terbelah menjadi zona-zona yang digarisi anutan agama. Pada Mei 2000, konflik Ambon memasuki babak baru lewat dua perkembangan. Pertama, keterlibatan kekuatan bersenjata ke dalam kedua kelompok. Kedua, masuknya Lasykar Jihad dari Jawa yang berniat membantu saudara Muslimnya yang tertekan dalam konflik. Dengan ini, konflik Ambon bermetamorfosis menjadi konflik bersenjata di mana peralatan amatir seperti bom-bom rakitan dan senjata buatan digantikan dengan persenjataan profesional. Pihak Muslim yang awalnya defensif kini ofensif. Akibatnya, pada Juni 2000 Maluku dimasukkan ke dalam Darurat Sipil. Ribuan tentara dan Brimob diturunkan ke provinsi ini guna mengatasi konflik.

Lewat perjanjian damai Malino II Pebruari 2002, pihak-pihak yang bertikai sepakat menjalin perdamaian. Kendati demikian, erupsi-erupsi kecil tetap saja terjadi, terutama di Ambon. Misalnya, pada April 2004 saat empat puluh orang meninggal dalam kerusuhan mengiringi penaikan bendera RMS di kediaman Alex Manuputty (pemimpin Front Kedaulatan Maluku). Namun, hal yang cukup melegakan adalah, erupsi-erupsi yang muncul pasca perjanjian damai Malino II tidak bereskalasi sebanding erupsi sebelum Deklarasi.

Di provinsi Maluku Utara (Malut), durasi konflik utama relatif lebih singkat ketimbang Maluku. Erupsi-erupsi konflik terutama mengiringi pemisahan Malut dari Maluku menjadi provinsi mandiri. Konflik di Malut dibayangi rivalitas lama antara Kesultanan Ternate dengan Tidore. Awalnya, pada bulan Agustus 1999 konflik terbatas muncul di daerah Kao antara penduduk lokal dengan pemukim Makian. Pokok konflik berkisar pada kendali atas Malifut, kecamatan yang baru terbentuk. Lewat intervensi Sultan Ternate, konflik segera padam. Namun, saat provinsi Malut resmi terbentuk pada Oktober 1999 konflik kembali mencuat. Konflik yang belakangan ini juga lalu menyebar ke Ternate dan bagian lain provinsi baru. Sama seperti di Ambon, erupsi-erupsi konflik Malut pun secara umum seolah bernuansa agama dan etnis, kendati khusus di Malifut, konflik lebih banyak bernuansa etnis ketimbang agama.

Akibat gencarnya perang provokasi lewat aneka selebaran, pamflet, dan propaganda kedua kelompok, aliansi para elit di sekitar rival politik Sultan Ternate membentuk Tentara Putih, yang berdiri di sisi kelompok Muslim. Mereka berhasil mendesak kelompok Kristen ke utara Ternate, lalu menyeberang ke Sulawesi Utara. Di Ternate, kelompok Kristen meminta suaka kepada Sultan Ternate yang hasilnya terbentuklah Tentara Kuning yang sifatnya lintas agama. Tentara Putih dikomposisikan kelompok-kelompok etnis asal Tidore, Makian, dan kaum migran dari Gorontalo. Tentara Kuning dikomposisikan para pendukung Sultan Ternate, elemen pendukung Golongan Karya, dan kalangan Kristen dari Halmahera yang secara tradisional adalah aliansi politik Sultan Ternate. Pertempuran kedua kelompok tentara pecah pada Desember 1999.

Setelah konflik berlarut, muncul isu bahwa pasukan jihad akan tiba di Galela (Halmahera), wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim. Menurut isu yang lalu muncul mengiringi, pasukan ini akan membela warga Muslim yang tertekan di Tobelo. Akibatnya, pada bulan Desember 1999, pejuang kelompok Kristen mengalir dari Kao ke Tobelo dan menyerang kaum Muslim di sana. Di hari kemudian, kekerasan meledak di Galela, menyebar hingga Bacan, Obi, dan Morotai, Ibu, Sahu, dan Jailolo. Di Halmahera Selatan, kekerasan pecah Mei 2000 kala pasukan jihad (lokal, Ternate, Tidore) mengalami bentrokan di perkampungan Kristen. Akhirnya pada Juni 2000 Malut diberlakukan sebagai Darurat Sipil. Tentara tambahan dari pemerintah pun masuk ke provinsi baru ini. Hal yang melegakan adalah, konflik berhasil dilokalisir dan Malut relatif berangsur tenang sejak pemerintah dan para tokoh masyarakat terlibat proaktif mencari resolusi konflik..
                                          
Penyebab Konflik. Penyebab konflik di Maluku dan Maluku Utara dibagi menjadi tiga, seperti termuat dalam bagan. Pertama, sebab-sebab struktural yang terdiri atas melemahnya struktur kekuasaan tradisional, ketimpangan horisontal, dan dampak kekuasaan otoritarian Orde Baru. Kedua, sebab-sebab langsung yang terdiri atas krisis ekonomi dan proses desentralisasi serta demokratisasi. Ketiga, sebab-sebab pemicu atau trigger, yang terdiri atas perseteruan politik lokal dan aktivitas gang-gang kriminal (di Ambon) serta selebaran dan pampflet gelap (di Malut).

Penyelesaian Konflik. Deklarasi Perdamaian Malino II merupakan tonggak penting dalam penyelesaian konflik Maluku dan Malut. Sebelum sampai kepada deklarasi, telah muncul inisiatif sejumlah kalangan di Maluku dan Malut sendiri untuk mengadakan penghentian kekerasan dan penciptaan perdamaian.

Perdamaian Malino II tanggal 12 Pebruari 2002, merupakan upaya gabungan wakil-wakil masyarakat Maluku dari kelompok Islam dan Kristen, pemerintah pusat (diwakili Jusuf Kalla dan SBY), serta pemerintah daerah untuk menciptakan perdamaian. Tiga puluh lima wakil kelompok Islam dan tiga puluh lima wakil kelompok Kristen menandatangani deklarasi yang draft-nya disusun selama tiga hari di pegunungan sejuk Malino, Sulawesi Selatan. Bukti kehendak rakyat Maluku untuk damai adalah berlangsungnya Pemilu 2004 yang hampir tanpa masalah. Pemilu ditujukan untuk mencari pemimpin yang mampu membangun Maluku, apapun garis etnis dan agamanya. Demikian pula di Malut, di mana masyarakatnya berhasil menyelenggarakan pilkada gubernur secara damai pada 28 Oktober 2002 di mana Thaib Armayin dan Madjid Abdullah terpilih selaku pemimpin daerah Malut.

Nils Bubant menyatakan, aneka kekerasan yang terjadi di Maluku dan Malut bukanlah disebabkan oleh agama maupun etnisitas, melainkan proses desentralisasi. Kekuasaan Orde Baru yang berdurasi lama dan sentralistik membuat daerah kehilangan kemampuan aslinya dalam mengelola kuasa politik lokal secara mandiri. Dengan desentralisasi, kohesi politik yang alamiah lambat-laun akan terbentuk dan mampu menjembatani hubungan etnis dan agama secara lebih harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

http://setabasri01.blogspot.co.id/2012/06/konflik-konflik-horizontal-di-indonesia.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar