Fobia
Sekolah
Fobia sekolah bukan fobia sebenarnya. Fobia ini
jauh lebih kompleks dan meliputi gangguan kecemasan perpisahan (separation
anxiety), agoraphobia, dan fobia sosial, meskipun kecemasan dipusatkan di
sekitar lingkungan sekolah. Anak yang mengalami fobia sekolah biasanya takut
meninggalkan lingkungan rumah yang aman dan kehadiran pengasuhnya.
Anak yang mengalami kecemasan perpisahan dapat
mengalami simtom/gejala yang sama ketika ditinggalkan di rumah temannya, sama
seperti ketika ditinggalkan di sekolah. Anak yang mengalami agoraphobia dapat
mengalami simtom-simtom yang sama di dalam bioskop, sama seperti di bus
sekolah. Sedangkan anak lain yang mengalami fobia sosial mungkin mengalami
simtom yang sama, misalnya ketika diminta untuk membaca dengan keras di sebuah
tempat ibadah; sehingga tidak hanya sekolah yang menyebabkan simtom distress
ini.
Namun, karena simtom yang tidak menyenangkan ini
terjadi secara relatif menetap di sekitar lingkungan sekolah, tidak selalu
jelas apa penyebab sesungguhnya masalah anak tersebut. Anak dapat sangat
terpengaruh sehingga ia tidak bisa masuk sekolah; umumnya disebut fobia
sekolah. Beberapa professional lebih memilih untuk menyebutnya penolakan
sekolah (school refusal) atau penghindaran sekolah, tetapi,
kebingungan dapat terjadi jika orang berpikir bahwa ini termasuk anak yang
membolos tanpa mengalami kecemasan mengenai sekolah dan yang tidak merasa
bersalah atau cemas karena tidak masuk sekolah.
Tipe Fobia Sekolah
Terdapat dua tipe fobia sekolah. Yang pertama
berhubungan dengan kecamasan perpisahan (separation anxiety) yang secara
umum ditemukan pada anak-anak hingga usia 8 tahun (meskipun anak yang lebih tua
dapat mengalaminya juga: semakin lama kecemasan perpisahan berlanjut, semakin
sulit untuk diobati). Anak yang lebih muda kurang mungkin untuk belajar merasa
percaya diri dan mandiri ketika jauh dari orangtuanya. Onset dari kecemasan
perpisahan biasanya tiba-tiba terjadi pada anak-anak, yang secara alami akan
berkurang setelah berumur 3 tahun, meskipun dapat dimulai dari umur 6 sampai 8
bulan dan berlanjut kemudian.
Tipe kedua yang paling banyak mempengaruhi anak-anak
di atas 8 th dan berkisar pada aspek sosial sekolah, dapat dianggap sebagai
fobia sosial. Onset dari gangguan ini bertahap, dan dapat dimulai dari
peningkatan kesadaran diri sekitar waktu pubertas.
Kadang-kadang, masalahnya terletak saat pergi ke
sekolah; anak dapat mengalami agoraphobia. Meskipun gangguan ini biasanya
merupakan perluasan dari masalah kecemasan lain yang anak miliki dan mungkin
juga akan muncul pada anak yang memiliki kecemasan perpisahan. Anak mungkin
ingin agar orangtuanya mengantarnya ke sekolah karena takut bahwa sesuatu yang
memalukan dapat terjadi di dalam bus atau kereta, dan tidak merasa aman kecuali
bersama dengan seseorang yang dapat menjaganya ketika ia merasa panik.
3 kelompok yang paling banyak mengalami fobia sekolah
- Pertama, anak yang berumur 5 sampai 7 tahun, dan dihubungkan dengan kecemasan perpisahan.
- Kedua, didominasi oleh anak berumur 11 sampai 12 tahun, yang disebabkan oleh kecemasan yang berhubungan dengan perubahan dari SD ke SMP, dan dihubungkan dengan fobia sosial.
- Ketiga, anak yang berumur 14 sampai 16 tahun dan dihubungkan pada fobia sosial dan gangguan lain seperti depresi dan fobia lain.
Terdapat sedikit peningkatan kecemasan
perpisahan ketika anak mengalami perubahan bangunan sekolah ketika mereka
pindah dari SD ke SMP, atau dari TK ke SD pada umur 7 atau 8 tahun. Ketakutan
anak-anak ketika memulai atau pindah sekolah biasanya berkembang selama awal
bulan.
Indikator Anak yang Rentan Mengalami
Fobia Sekolah
Terdapat karakteristik keluarga yang
mengindikasikan apakah anak memiliki kecenderungan untuk lebih rentan mengalami
gangguan kecemasan seperti fobia sekolah. Indikatornya adalah:
- Terdapat anggota keluarga lain yang menderita masalah yang berhubungan dengan emosi atau kecemasan.
- Orangtua yang bersikap overprotektif terhadap anak. Hal ini menyebabkan anak lebih sering bergantung pada orangtuanya dan takut pergi sendiri.
- Anak memiliki ibu yang sangat pencemas, dan kecemasan ibunya dapat terpancar pada anaknya, sehingga membuat anak merasa bahwa ia memiliki alasan untuk cemas. (anak juga dapat meniru ibunya, dan berperilaku dengan cara yang sama dengan ibunya, cemas mengenai hal yang sama)
- Anak memiliki ayah yang hanya memainkan sedikit peran (atau tidak sama sekali) dalam pengasuhannya
- Anak yang merupakan anak bungsu dalam keluarga sering menjadi yang paling rentan mengalami gangguan kecemasan karena ia dianggap selalu menjadi ‘bayi’ keluarga dan diperlakukan seperti itu. Apalagi, ketika orangtua tahu bahwa mereka tidak akan memiliki anak lagi, mereka kadang-kadang ingin menjaga anaknya tersebut sangat dekat dengan mereka dan, tanpa mereka sadari anak tersebut menjadi terlalu tergantung pada mereka.
- Anak memiliki penyakit kronis sehingga butuh untuk lebih tergantung pada orangtuanya dan tidak memiliki kepercayaan diri untuk merasa sehat dan kuat dan mampu untuk mengatasi masalah kehidupan.
- Anak sering berperilaku baik dan mampu secara akademis.
Fobia sekolah dapat berkembang sebagai
hasil dari depresi, yang membuat anak merasa bahwa ia tidak mungkin mampu
mengatasi tekanan dan tantangan dari sekolah, atau sebagai hasil dari
peningkatan jumlah ketakutan dan stressor.
Simtom-Simtom Fobia Sekolah
Apapun gangguan yang dialami anak, ia
dapat mengalami simtom kecemasan di bawah ini:
- Menangis
- Diare
- Merasa lemas
- Sering buang air kecil
- Pusing
- Hiperventilasi (bernafas secara cepat)
- Insomnia
- Mual dan muntah
- Detak jantung cepat
- Bergetar
- Sakti perut
- Berkeringat
Anak yang mengalami fobia sekolah merasa
sangat tidak sehat ketika harus pergi ke sekolah. Akan tetapi, simtom
menghilang ketika ia diijinkan tidak sekolah walaupun dapat muncul lagi ketika
ia diharuskan kembali sekolah.
Kemungkinan Pemicu Fobia Sekolah
meliputi :
- Diganggu oleh anak lain (mengalami bullying)
- Memulai sekolah untuk pertama kali
- Pindah ke sekolah baru dan harus masuk ke sekolah baru dan berteman dengan teman-teman baru.
- Tidak sekolah untuk waktu yang lama karena sakit atau liburan
- Kehilangan (seseorang atau hewan peliharan)
- Merasa terancam oleh kedatangan bayi baru
- Mengalami pengalaman traumatik seperti disiksa, diperkosa, atau menjadi saksi peristiwa tragis
- Masalah di rumah seperti anggota keluarga sakit
- Masalah di rumah seperti perceraian, pemisahan
- Kekerasan dalam rumah tangga atau penyiksaan anak
- Tidak memiliki teman yang baik
- Tidak populer, dipilih pada urutan terakhir dalam kelompok, dan merasa gagal secara fisik (dalam permainan)
- Merasa gagal secara akademik
- Takut pada serangan panik ketika perjalanan ke sekolah atau ketika sekolah.
sumber:
Csóti, Márianna (2003). School Phobia, Panic
Attacks and Anxiety in Children. London: Jessica Kingsley Publishers
Tanggapan saya,
Pergi ke sekolah untuk pertama kali
merupakan periode kecemasan yang besar bagi anak. Banyak anak yang akan
dipisahkan dari orangtuanya untuk pertama kali, atau akan dipisahkan sepanjang hari
untuk pertama kalinya. Perubahan yang tiba-tiba ini dapat membuat mereka cemas
dan mereka mungkin mengalami kecemasan perpisahan. Mereka juga mungkin tidak
dibiasakan menghabiskan seluruh hari secara terorganisasi dan membuat mereka
sangat lelah pada akhir hari, hal ini menyebabkan stres lebih lanjut dan
membuat mereka merasa sangat rentan.
Untuk anak yang lebih tua yang bukan
baru masuk sekolah, kembali masuk sekolah setelah libur panjang atau
sakit, dapat menjadi peristiwa traumatik. Mereka tidak lagi merasa di rumah.
Persahabatan dapat berubah dan digantikan dengan teman-teman baru. Guru dan
kelas mungkin juga berubah. Mereka mungkin telah terbiasa di rumah dan dekat
dengan penjagaan orangtuanya, sehingga merasa tidak aman ketika semua perhatian
hilang dan tiba-tiba mereka dibawah pengawasan gurunya kembali.
Saran
saya,
Untuk orang tua, yang bisa dilakukan adalah :
· -
Mengetahui sejak awal gejala yang muncul pada anak
sehingga bisa ditangani lebih cepat. Gejala yang muncul ini terjadi pada anak
yang berbeda dengan kebiasaan sehari-hari.
· - Tanyakan
pada anak sebab terjadinya perubahan tersebut dan beri arahan apabila perubahan
itu berdampak negatif bagi anak dan masa depannya.
· -
Membantu
anak agar bisa menangani masalahnya sendiri dengan memberikan nasehat atau
saran serta menanamkan rasa tanggung jawab.
· -
Orang tua
lebih terbuka atas masalah anak karena masalah yang dialami oleh jaman sekarang
jauh berbeda dengan anak-anak jaman dahulu.
· -
Berkunsultasi
dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah phobia sekolah anak seperti
dengan guru dan psikolog.
Untuk guru
sebagai wali kelas atau untuk guru pembimbing, yang bisa dilakukan adalah :
· -
Memperhatikan
kehadiran siswa di sekolah. Apabila siswa jarang masuk atau tidak masuk pada
hari-hari tertentu, segera cari tahu apa penyebabnya.
· -
Membantu
siswa menyelesaikan masalah yang menjadi penyebab munculnya phobia sekolah.
· - Bekerja sama
dengan guru bidang studi dan wali kelas terkait dengan phobia sekolah yang
dialami siswa.
· -
Bekerja sama
dengan orang tua untuk mencari tau penyebab munculnya phobia sekolah pada siswa
dan bekerja sama dalam menyelesaikannya.
· -
Merujuk
siswa ke psikolog apabila dirasa masalah phobia sekolah pada siswa sudah tidak
dapat ditangani oleh pihak sekolah.